I. Pendahuluan
Menurut Chapra, paham ekonomi yang dominan dianut sekarang ini menganut sudut pandang maksimalisasi nilai materi dan cenderung mengabaikan nilai-nilai spiritual. Hal ini bermuara pada praktik akuntansi yang merefleksikan nilai budaya bisnis. Praktik akuntansi konvensional memiliki sudut pandang bahwa perusahaan hanya akan eksis, bila menghasilkan laba (income) yang semata-mata diperuntukkan bagi pemegang saham (stockholders) (Triyuwono, 2009:389, Suharli, 2007). Hal tersebut sejalan dengan Harahap (2011:76) bahwa pengaplikasian entity theory adalah perusahaan akan berorientasi pada laba (income oriented). Pertanggungjawaban kepada pemilik dilakukan dengan cara mengukur kinerja kegiatan dan kinerja keuangan yang ditunjukkan oleh perusahaan. Laba berkontribusi menambah ekuitas pemilik atau kenaikan kewajiban entitas bisnis kepada pemilik. Dengan demikian, akuntansi konvensional hanya memandang bahwa satu-satunya pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan adalah stockholders.
Banyak peneliti yang memandang bahwa paradigma yang menfokuskan pada stockholders adalah tidak lagi relevan (Iryanie, 2009). Selain pemegang saham, banyak pihak-pihak lain yang juga turut andil dalam pencapaian kinerja perusahaan. Misalnya, masyarakat memberikan kontribusi berupa penciptaan iklim industri yang baik bagi perusahaan dan menerima dampak lingkungan yang ditimbulkan perusahaan, seperti polusi udara, pencemaran limbah pabrik, dan sebagainya. Nurlela dan Islahuddin (2008) mengungkapkan bahwa perusahaan tidak hanya mempunyai kewajiban-kewajiban ekonomi dan legal. Artinya, perusahaan tidak saja berkepentingan terhadap pemegang saham, tetapi juga mempunyai kewajiban kepada pihak-pihak lain yang berkepentingan (stakeholders).
Lebih jauh lagi, Morgan (1986) dalam Triyuwono (2006:185) mengemukakan bahwa organisasi modern pada umumnya dibangun berdasar konsep kesatuan usaha (entity theory), sehingga perusahan dikembangkan dan dioperasikan berdasarkan metafora mesin. Manusia dididik dan dilatih dengan keterampilan tertentu sesuai dengan pekerjaan di mana ia akan ditempatkan. Ia direduksi menjadi sparepart dari sebuah mesin organisasi dengan tujuan meraih laba semaksimal mungkin. Dengan metafora mesin ini, organisasi berfokus pada tujuan, struktur, dan efisiensi.
Implikasi lain dari penerapan konsep akuntansi tersebut adalah perusahaan hanya mengakomodasi biaya-biaya internal (private cost). Hal tersebut merupakan manifestasi nilai egoistis dan cenderung mengabaikan public cost yang lebih altruistik (Triyuwono, 2001). Perusahaan cenderung menutup mata terhadap dampak aktivitas yang ditimbulkan perusahaan, seperti biaya-biaya polusi tanah, air, udara, dan suara. Pengabaian public cost akan membawa manusia pada realitas bisnis yang egois, perusahaan cenderung destruktif terhadap alam dan kehidupan manusia. Hal ini diperparah oleh realitas akuntansi yang hanya memerhatikan aspek materi dan angka-angka mekanis saja. Eksploitasi alam yang dilakukan perusahaan menyebabkan alam tidak lagi bersahabat, karena akuntansi konvensional tidak mengakomodasi alam (lingkungan) sebagai stakeholder-nya.
Fenomena serupa juga tercermin dari perilaku manajemen (manajer) yang menfokuskan akuntabilitasnya pada stockholders. Hal ini dapat kita lihat dari kebijakan pendistribusian laba dalam paradigma akuntansi konvensional. Laba
hanya hanya mempunyai dua tujuan distribusi, yaitu pemegang saham dan laba ditahan (retained earning) yang digunakan kembali untuk pengembangan perusahaan (manifestasi kepentingan manajemen). Bahkan, Widarto et al. (2009) mengungkapkan bahwa upaya menegaskan orientasi pemegang saham dan manajemen, membuat manajemen melakukan praktik akuntansi kreatif (creative accounting). Dalam konteks amanah, hal tersebut adalah sesuatu yang dibolehkan. Namun pada praktiknya, terkadang manajemen terlihat amanah pada satu sisi, namun tidak amanah dari sisi lain, seperti praktik pengalokasian saldo laba menjadi modal saham, sehingga terjadi penghindaran pajak final yang dapat dikatakan tidak amanah kepada masyarakat dan pemerintah.
Realitas yang tercipta seperti di atas adalah jauh dari ideal. Secara sadar atau tidak, manusia menginginkan realitas yang membawa mereka kepada nilai-nilai rabbani, hubungan yang selaras seimbang dengan manusia lainnya, dan alam itu sendiri. Untuk kebutuhan inilah diperlukan sebuah wujud akuntansi yang selaras dengan tujuan tersebut. Akuntansi syariah dituntun oleh ajaran Islam, dimana Islam adalah agama dan dunia; ibadah dan muamalah; aqidah dan syariah; kebudayaan dan peradaban; agama dan negara.
II. Internalisasi Public Cost melalui Shariate Enterprise Theory
Muhammad (2002) merumuskan prinsip umum akuntansi syariah meliputi keadilan, kebenaran dan pertanggungjawaban. Jadi, pelaporan akuntansi yang dilakukan dengan benar, cepat, terang, jelas, tegas, informatif, dan menyeluruh. Selain itu, pelaporan akuntansi yang ditujukan kepada semua pihak, terperinci dan teliti, tidak terdapat unsur manipulasi, dan dilakukan secara kontinyu dapat terwujud.
Sebaliknya, Konsekuensi dari penggunaan konsep entity theory dalam akuntansi konvensional adalah entitas bisnis yang berorientasi pada profit (laba) yang membawa kita pada realitas semu yang memarginalkan nilai manusia. Berangkat dari poin ini, akuntansi syariah memosisikan diri sebagai mediator antara konflik akuntansi konvensional dengan realitas yang ideal bagi semua makhluk.
Terkait dengan kepentingan tersebut, telah banyak argumen mengenai konsep yang sesuai dengan tujuan akuntansi syariah. Accounting and Auditng Organization for Islamic Financial Institution (AAOIFI) dalam Harahap (2011:387) dan Harahap (1997: 154-155) menjelaskan bahwa enterprise theory adalah konsep yang paling relevan dengan tujuan akuntansi syariah, yaitu entitas bisnis yang mengakomodasi kepentingan stakeholders selain stockholders. Adnan (1999) dalam Triyuwono (2000a) juga mengutarakan kesepakatannya dengan penerapan konsep enterprise theory. Meskipun enterprise theory telah mengakomodasi kepentingan stakeholders secara umum, namun dapat dikatakan bahwa enterprise theory masih bersifat duniawi dan belum memiliki konsep tauhid (Slamet, 2001:265 dalam Triyuwono, 2006: 351). Agar konsep ini benar-benar sesuai dengan syariah, maka ada kewajiban menginternalisasikan nilai ketuhanan di dalamnya. Internalisasi nilai ketuhanan berarti setiap kegiatan bisnis harus didasarkan pada hasrat untuk beribadah kepada Tuhan. Jika nilai tauhid telah diinternalisasikan, maka legitimasi untuk memasukkan konsep-konsep Islam didalamnya dapat dilanjutkan sehingga menjadi Shariate Enterprise Theory (SET).
Implikasi dari penerapan konsep ini adalah manajemen akan mengelola perusahaan (enterprise) melalui model manajemen amanah (Triyuwono, 2006). Kemudian dijelaskan pula, model ini akan memengaruhi akuntansi dalam bentuk konstruksinya, dimana akuntansi dan realitas organisasi akan dibentuk berdasarkan nilai-nilai zakat (Triyuwono, 1997).
Organisasi bisnis yang menerapkan model amanah, akan berimplikasi pada terciptanya realitas bisnis dalam beberapa makna. Pertama, model ini akan mengubah orientasi enterprise dari profit oriented menuju zakat oriented. Kedua, menciptakan ketundukan kepada aturan syariah. Ketiga, memasukkan nilai altruistik dalam budaya enterprise.
Zakat mengalihkan orientasi enterprise pada laba menuju orientasi kepada zakat. Laba dalam sudut pandang ini hanya merupakan alat mencapai tujuan. Dengan enterprise berorientasi pada zakat, maka nilai egoistic yang ada pada akuntansi akan terkikis karena telah terjadi pergeseran orientasi, yang awalnya hanya kepada kepentingan stockholders kemudian beralih kepada kepentingan stakeholder dalam konteks yang lebih luas. Jika awalnya enterprise hanya mementingkan diri sendiri dengan hanya memberikan distribusi laba kepada stockholders, maka shariate enterprise theory mendorong enterprise untuk lebih mementingkan orang lain daripada diri sendiri melalui zakat.
Di samping mengemban misi sosial, zakat juga dapat dijadikan sebagai ukuran kinerja suatu enterprise. Enterprise dapat dinilai mempunyai kinerja yang baik jika ia mengeluarkan zakat dalam jumlah yang besar (Muhammad, 2002). Zakat yang dikeluarkan akan membawa dampak kas keluar bagi enterprise yang bila dimanipulasi akan menyebabkan kekurangan kas pada enterprise yang dapat mengancam kelangsungan hidupnya,. Atas pertimbangan ini, zakat dapat menjadi alat ukur kinerja yang efektif. Berbeda jika enterprise menggunakan laba sebagai alat ukur kinerja. Informasi laba sangat rentan akan manipulasi yang menimbulkan bias informasi. Bias informasi dapat timbul karena dalam pelaporan laba tidak harus membawa dampak bagi kas enterprise. Pelaporan laba yang terdistorsi tidak membawa pengaruh kepada operasi enterprise. Jika dikaji secara mendalam, celah inilah yang menimbulkan krisis akuntansi beberapa waktu yang lalu seperti kasus Enron, Worldcom, dan sebagainya.
Masalah yang kemudian timbul dari penerapan konsep zakat adalah adanya pembatasan terhadap penggunaan dana zakat tersebut. Dana zakat, sebagaimana termaktub dalam Alquran, hanya dapat disalurkan untuk delapan golongan meliputi miskin, fakir, amil, muallaf, budak, gharim (orang yang berutang), musafir, dan fi sabilillah. Namun, Ahmad (2011) menyatakan bahwa delapan ashnaf (golongan) penerima zakat perlu diredefinisi sehingga hal ini dapat membuktikan bahwa Alquran itu sejalan dengan perkembangan zaman. Dalam banyak kasus, fleksibilitas dapat menjadi isu yang penting. Jika terjadi bencana alam, misalnya, maka apakah perusahaan harus mengalokasikan dana kebajikan tersendiri untuk memberikan bantuan atau cukup dengan mengambil dari dana zakat. Pengalokasian dana kebajikan lain selain zakat untuk korban bencana alam akan membebani perusahaan jika dana zakat tidak mengakomodasi kepentingan tersebut. Jika dana zakat merupakan perwujudan nilai altruistik, maka dapat dikatakan bahwa semua golongan yang secara prinsip dapat menerima dana zakat, seperti korban bencana alam, selain dari 8 golongan tersebut bisa terakomodasi. Dengan demikian, SET mengedepankan nilai altruistik dimana
didalamnya termasuk direct (stockholder) dan indirect (stakeholder) participants. SET lebih kuat penerapannya karena menghadirkan hubungan horizontal maupun vertikal.
III. Rekonstruksi Paradigma terhadap Akuntansi melalui Metafora Amanah
Metafora amanah dirancang untuk mencari bentuk akuntansi yang humanis, emansipatoris, transendental, dan teleologikal (Triyuwono,1997) yang juga merupakan prinsip dasar dari akuntansi syariah (Triyuwono, 2002). Akuntansi yang humanis memliki sudut pandang bahwa akuntansi harus bersifat manusiawi dan memanusiakan manusia. Dari prinsip ini, akuntansi diharapkan dapat mengakomodasi fitrah manusia yang terdiri dari elemen materi dan spiritual (Triyuwono, 2007). Dalam konteks berusaha, fitrah manusia yang dominan adalah keinginan untuk memeroleh imbalan. Fitrah manusia yang pamrih tercermin bahwa dalam konteks agama manapun, surga dijanjikan untuk orang yang taat sedangkan neraka disiapkan sebagai ganjaran bagi orang yang melanggar. Untuk mengapresiasi fitrah, akuntansi harus bersifat humanis yang dalam konteks ini berarti memberikan legitimasi bagi manusia untuk mendapatkan sesuatu dari hasil usahanya dengan tetap memberikan batasan dengan memunculkan nilai spiritual.
Akuntansi yang emansipatoris berarti akuntansi harus mampu melakukan perubahan yang bersifat membebaskan manusia dari ikatan semu yang tidak perlu. Dengan kata lain, nilai informasi yang terdapat pada akuntansi harus memandang segala sesuatu secara adil yaitu tidak mengutamakan satu pihak dengan pihak yang lain (Kuntowidjojo, 1991 dalam Triyuwono, 1997)
Akuntansi yang transendental mengindikasikan bahwa akuntansi mampu melintas batas dunia materi (ekonomi). Melalui prinsip filosofis ini, akuntansi dapat memperkaya diri dengan mengadopsi disiplin ilmu lain bahkan akuntansi dapat mengadopsi nilai ajaran dari sebuah agama. Implikasi dari penerapan prinsip ini adalah akuntansi dapat meningkatkan nilai akuntabilitasnya dengan melakukan kombinasi dari berbagai pendekatan sehingga akuntansi tidak lagi terbatas pada nilai materi.
Bentuk akuntansi yang teleologikal memiliki makna bahwa akuntansi tidak hanya menekankan nilai informasi untuk pengambilan keputusan, akan tetapi juga mengedepankan aspek akuntabilitas dalam arti yang luas terutama akuntabilitas vertikal (nilai tauhid). Eksistensi dari orientasi terhadap akuntabilitas vertikal akan mengantarkan praktisi akuntansi kepada kemerdekaan dari benturan kepentingan yang terjadi antara stakeholders. Disamping itu, Baydoun dan Willet (2000) dalam Triyuwono (t.th) meyakini bahwa perhatian kepada stakeholder selain stockholder akan lebih kuat jika dilandaskan pada nilai tauhid.
Metafora amanah sebenarnya diturunkan dari aksioma bahwa manusia adalah wakil Tuhan di muka bumi. Terkait fungsinya sebagai sebagai wakil Tuhan (khalifah) maka manuisa dianalogikan untuk melakukan apa yang diinginkan pemberi amanah, yaitu mengelola bumi secara bertanggungjawab dengan menggunakan akal yang telah dianugerahkan (Rahardjo,1995:47 dalam Triyuwono, 2009:347). Mengelola bumi dapat diartikan bahwa menciptakan kesejahteraan bagi semua makhluk berdasarkan nilai yang ketuhanan atau secara sederhana berarti penciptaan kesejahteraan sosial (Muhammad, 2002).
IV. Kesimpulan
Akuntansi konvensional mengarahkan manusia kepada realitas bisnis yang egois, marjinalisasi manusia, dan ekploitasi lingkungan secara tidak terkendali. Realitas tersebut tercipta dikarenakan budaya bisnis yang berinteraksi dengan akuntansi yang berorientasi pada laba. Akuntansi syariah hadir dengan sebuah konsep pencerahan untuk membebaskan manusia dari konsep maksimalisasi laba menuju orientasi kepada zakat. Orientasi kepada zakat akan membimbing manusia untuk mengakomodasi nilai altruistik yang selama ini ternegasikan oleh nilai egoistik.
Internalisasi nilai zakat akan mengarahkan akuntansi pada bentuk akuntansi yang humanis, emansipatoris, transendental, dan teleologikal. Berdasar pada prinsip ini, akuntansi akan dapat mengembalikan manusia kepada fitrahnya, menegakkan nilai keadilan dalam berusaha, memperkaya nilai akuntabilitasnya, dan memerdekakan manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Arifuddin. 2001. Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Zakat. Disampaikan pada Seminar dengan Tema “Memberdayakan Ekonomi Umat Melalui Zakat”, yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Akuntansi UIN Alauddin Makassar, Samata-Gowa, 20 Desember 2011.
Chapra, M. Umer.t.th. Islamic Economics: What It Is and How It Developed. Sponsored by the Economic History Association (US),Economic History Society (UK), liometric Society (US), and the History of Economics Society US).(http://eh.net/ encyclopedia/ eh.net/encyclopedia/whaples@wfu.edu)
Harahap, Sofyan Syafri. 1997.Akuntansi Islam. Jakarta: Bumi Aksara
Harahap, Sofyan Syafri. 2011. Teori Akuntansi. Jakarta: Rajawali Pers.
Iryanie ,emy. 2009. Komitmen Stakeholder Perusahaan Terhadap Kinerja Sosial dan Kinerja Keuangan (Studi Empiris Pada Perusahaan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia). Tesis.semarang: PPs universsitas diponegoro semarang.
Muhammad, 2002. Penyesuaian Teori Akuntansi Syariah: Perspektif Akuntansi Sosial dan Pertanggungjawaban. Iqtisad Journal of Islamic Economics Vol. 3 No. 1 pp. 67-87.
Nurlela, Rika dan Islahuddin. 2008. Pengaruh Corporate Social Responsibility Terhadap Nilai Perusahaan dengan Prosentase Kepemilikan Manajemen sebagai Variabel Moderating (Studi Empiris Pada Perusahaan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Jakarta). Jurnal Akuntansi XI Pontianak.
Suharli, Michell.2007. Pengaruh Profitability dan Investment Opportunity Set Terhadap Kebijakan Dividen Tunai dengan Likuiditas sebagai Variabel Penguat (Studi pada Perusahaan yang Terdaftar di BEJ Periode 2002-2003). Jurnal akuntansi dan keuangan vol.9 no. 1:9-17
Triyuwono,Iwan.t.th. Shari’ah Accounting And Neuro Science : Awakening God Consciousness.http://sites.google.com/site/icbmbangkok2/proceedings011/Triyuwono.ICBM.2011.104.RP.pdf.
Triyuwono, Iwan.1997. “Akuntansi Syariah dan Koperasi Mencari Bentuk dalam Metafora Amanah. Jurnal Akuntansi dan Auditing Indonesia vol 1.no. 1:1-46
Triyuwono.2000a. “Akuntansi Syariah : Implementasi Nilai Keadilan dalam Bingkai Metafora Amanah.Jurnal Akuntansi dan Auditing Indonesia Vol 4.No. 1:1-34
Tidak ada komentar:
Posting Komentar